Visi Sekolah

Visi : "Terwujudnya lulusan yang BERIMAN, SEHAT, CERDAS, dan TERAMPIL dengan kepedulian dan berbudaya lingkungan"

Jumat, 31 Desember 2010

OPINI

URGENSI PENGEMBANGAN KURIKULUM 
PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP ( PLH ) DI SEKOLAH 
Oleh : Drs. Muhammad Arsyad, M.Pd. *)

                “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. Ar Ruum, 30:41) Diperkirakan menjelang 2050, jutaan spesies flora dan fauna global akan punah secara massal. Perubahan iklim dan pemanasan global berpotensi menjadi penyebab utama. Dari studi yang dilakukan di enam wilayah menyebutkan, seperempat hewan dan tumbuhan yang hidup di daratan akan musnah, jika efek rumah kaca tidak segera ditanggulangi . Proses kemerosotan dan kepunahan keanekaragaman hayati sebenarnya peristiwa alami, namun proses tersebut seringkali dipercepat oleh pemanfaatan berlebihan yang dilakukan manusia. (Prof. Dr.RTM Sutamiharja M.Ag.(Chem) pada Seminar Nasional “Biologi dan Bioteknologi Sumber Daya Akuatik” di Fak. Biologi Univ. Jenderal Soedirman).       
                Rendahnya kualitas lingkungan hidup sebenarnya telah lama disadari oleh berbagai pihak, baik ditingkat kampung, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional, regional, bahkan internasional. Berdasarkan studi yang dilakukan Dr. Armi Susandi, MT., bahwa akibat pemanasan global yang berdampak pada kenaikan permukaan air laut, maka antara tahun 2010, 2050, sampai 2100 ada 115 pulau di Indonesia terancam akan tenggelam, termasuk 17 pulau di Kalimantan yang salah satunya adalah Pulau Laut / Kotabaru. Di Kota Banjarmasin sendiri air laut akan menggenangi daratan lebih tinggi antara 0,5 - > 1 m dibandingkan sekarang.  
                 Dari laporan Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC), pada 2001 dan 2007 terungkap kurang lebih 20-30% tumbuhan dan hewan diperkirakan resiko kepunahannya meningkat. Hal tersebut bisa terjadi jika kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5-2,5 derajat celcius. Tutupan hutan di Indonesia menyusut menjadi 98 juta ha pada 2002. Selain itu, laju deformasi hutan pun meningkat dari 1,6 juta ha/th di antara th 1985-1997, menjadi 2,8-3,6 juta ha pada 1998-2000. Pada 100 tahun lalu tutupan hutan di Indonesia masih sekitar 170 juta ha. Kondisi 98 juta ha tersebut, separonya sudah terdegradasi akibat aktivitas manusia. Isu pemanasan global dan pencairan es di kutub, efek rumah kaca, bocornya lapisan ozon, dan isu-isu lain yang sebenarnya telah dirasakan langsung oleh umat manusia di muka bumi ini. Namun seolah-olah solusi yang diupayakan selalu tertinggal dibanding lajunya tingkat kerusakan dan menurunnya kualitas lingkungan hidup tersebut. Padahal keberhasilan kita menyelesaikan masalah lingkungan dan kualitas lingkungan hidup itu sendiri hakikatnya berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin baik keberhasilan menyelesaikan masalah lingkungan hidup akan semakin baik pula kualitas lingkungan hidup kita, dan semakin tinggi kualitas lingkungan hidup akan semakin meningkat pula kesejahteraan masyarakat. (Prof.DR. H.Said Agil Husin Al Munawar, MA) 
                 Di tahun 2004, saat itu Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, MPA, MSM juga telah mengingatkan bahwa kualitas lingkungan hidup di tanah air kita ini dalam kondisi yang memprihatinkan dan kecenderungannya semakin memburuk dari hari ke hari. Banyak yang meninggal akibat tanah longsor dan hanyut oleh banjir. Di perkotaan maupun di pedesaan, masyarakat sama-sama menghadapi buruknya kualitas lingkungan hidup seperti air dan udara tercemar, lahan resapan air yang menyempit, pohon-pohon yang dibabat secara tidak proporsional, dan lain-lain. Ternyata sudah satu dasa warsa kondisi tersebut justru memang semakin parah. Kebakaran hutan, kesulitan air bersih, banjir bandang terjadi dimana-mana. Di Medan, Wasior, termasuk di daerah kita sendiri di Tanjung dan baru-baru ini di Loksado. Bahkan telah sangat banyak merenggut nyawa saudara-saudara kita. Akankah kita tetap dengan cara yang sudah jelas selalu ”ketinggalan kereta” dibanding datangnya bencana yang akan menimpa kita ? 
                  Fenomena perubahan lingkungan ternyata menjadi suatu kejadian yang menyetak pemikiran kita ketika musibah telah datang dan tiba-tiba. Musibah banjir bandang akibat hutan gundul yang menyebabkan erosi yang mengakibatkan banyak korban dikarenakan longsoran ke daerah pemandian yang ramai pengunjung maupun ke daerah pemukiman, permasalahan polusi udara terutama di kota besar dikarenakan banyaknya penggunaan kendaraan bermotor, sikap penduduk yang masih membuang sampah atau membakarnya sembarangan dan masih banyak penyimpangan perilaku yang dapat menurunkan kualitas lingkungan. Memang Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA), akan tetapi ketersediaannya bukanlah tidak terbatas, sementara laju pertambahan jumlah penduduk yang memanfaatkan SDA semakin meningkat. Akibatnya eksploitasi SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat maupun kebutuhan bisnis ini merupakan ancaman serius terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Untuk itu diperlukan upaya penyadaran masyarakat terhadap permasalahan yang sedang dihadapi di bidang lingkungan hidup. 
                       Permasalahan diatas membuat kita berpikir apakah kepedulian masyarakat akan lingkungan memang sedang mengalami krisis, ataukah selama ini pendidikan yang mengupayakan peningkatan kepedulian masyakat masih kurang atau kurang optimal. Hal tersebut yang menyebabkan kita harus terus berpikir bagaimana upaya-upaya yang perlu di tempuh agar masyarakat dapat meningkat kepeduliaannya terhadap lingkungan.  
                         Beberapa tokoh mencermati bahwa memberikan pendidikan kepada masyarakat bukan hanya diartikan dengan mensosialisasikan, atau mengadakan penyuluhan tentang PLH kepada masyarakat, atau melatih masyarakat saja. Karena ternyata memberikan PLH kepada peserta didik di sekolah-sekolah mulai tingkat SD / MI, SMP / MTs, SMA / SMK / MA, dan sampai kepada mahasiswa di Perguruan Tinggi juga dianggap sebagai melaksanakan PLH kepada masyarakat. Peserta didik atau mahasiswa juga adalah bagian dari masyarakat, dan para orang tua dan sanak saudara dari peserta didik atau mahasiswa tersebut di rumah juga akan dapat disentil ”rasa malu”-nya ketika anaknya yang di sekolah mendapat pengalaman tentang PLH menegur orang tua dan sanak saudaranya jika bersikap tidak menghargai dan tidak peduli dengan kelestarian lingkungan hidup yang seimbang. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka salah satu yang tidak dapat kita tunda lagi dan memang sangat urgen adalah bagaimana memberikan pendidikan kepada masyarakat termasuk peserta didik kita yang selain merupakan anggota masyarakat mereka juga berinteraksi dengan orang tua dan masyarakat secara luas yakni memberikan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). Walaupun upaya yang lainnya seperti penegakan hukum yang adil dan kuat, upaya ’mitigasi’ dan ’adaptasi’ terhadap perubahan lingkungan tetap harus dilakukan pula. 
                  Untuk membelajarkan peserta didik secara efektif di sekolah-sekolah setingkat SD dan SMP sekalipun, diperlukan upaya pengembangan kurikulum yang komprehensif dan faktual bermuatan PLH. Bukan hanya sekedar tahu pengertian erosi, abrasi, pemanasan global, atau pencemaran udara. Bukan pula sekedar mengecat sekolah menjadi baru, atau membuat halaman sekolah penuh tanaman Tetapi harus sampai pada tercapainya perubahan sikap dan perilaku peserta didik tentang bagaimana membuang sampah yang benar, menerapkan prinsip 3-R (Re-use, Re-duce, dan Re-cycle) dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi sejak tahun pelajaran 2009/2010 semua sekolah di Indonesia harus sudah menerapkan KTSP, yakni kurikulum operasional yang disusun / dikembangkan oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan, yang terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus serta perangkat pembelajaran lainnya yang diperlukan. Oleh karena itu sungguh tidak ada alasan yang lebih layak diutamakan, selain dari pentingnya mendidik calon generasi mendatang dengan pendidikan yang peduli dan berbudaya lingkungan. Sangat tepat pula dengan konsep yang telah diamanatkan perundang-undangan kita untuk menyelenggarakan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development –ESD). 
                     Memang, diperlukan upaya menyulap performance sekolah menjadi sebuah tontonan menarik dan sedikit memaksa orang berdecak kagum, dan itu hanya memerlukan guyuran anggaran. Hal demikian baru merupakan salah satu dari empat komponen yang harus dikembangkan oleh suatu sekolah sebagai lembaga pendidikan, selain komponen kemampuan kepala sekolah mengembangkan kebijakan yang peduli terhadap lingkungan, mengembangkan kurikulum berbasis lingkungan, serta mengembangkan kegiatan partisipatif peserta didik dibidang lingkungan. Oleh karena itu pula tidak perlu merasa puas dan sudah merasa menjadi sekolah terdepan kalau baru menjadi sekolah ‘berwawasan lingkungan’ yang berarti baru pada tataran kognitif, sebab yang lebih diperlukan adalah menjadi “sekolah peduli dan berbudaya lingkungan”, yakni sampai pada tingkat aplikatif psikomotor oleh warga sekolah, sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adiwiyata.
                  Dukungan penuh terhadap Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) yang akan segera memasukkan persoalan lingkungan hidup ke dalam kurikulum. Menteri LH Prof. Dr. Gusti Muhammad Hatta usai membuka seminar 'Perspektif STS (Science, Technology and Society) dalam Aktualisasi Pembangunan Berkelanjutan' yang dilaksanakan oleh FMIPA UT, di Balai Sidang Universitas Terbuka (UTCC), Pondok Cabe, Rabu 3 Nopember 2010 lalu mengatakan bahwa diharapkan tahun 2011 kurikulum PLH, bisa diterapkan di SD, SMP, dan SMA sederajat. Beliau dan kita semua mengharap nanti para siswa berperilaku dan berbudaya ramah lingkungan, sehingga tidak seenaknya pada lingkungannya. 
                  Lebih rinci lagi Sekretaris Kementrian Lingkungan Hidup, Hermien Rosita mengemukakan bahwa semua sekolah di Indonesia saat ini wajib memberikan kurikulum pendidikan lingkungan hidup. Pendidikan Lingkungan hidup tersebut kemudian diimplementasikan dalam program Adiwiyata, yakni program yang berupaya menjadikan lingkungan sekolah menjadi tempat yang ideal dan menyenangkan untuk pelaksanaan pembelajaran. Semoga, dan kalau kita mau kita pasti bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar